Perjalanan Hidup KH. Miftahul Fattah Amin

KH. Miftahul Fattah Amin atau Mbah Mif, begitu sapaan akrab beliau hingga saat ini. Beliau adalah sosok kiai sepuh yang sangat disegani oleh masyarakat. Meskipun keturunan kiai kondang namun beliau tetap rendah hati dan suka menolong semua orang. Siapapun dan kapan pun masyarakat membutuhkan, beliau dengan senang hati meluangkan waktu dan tenaganya. Tidak hanya untuk masyarakat Tunggul saja, tetapi juga untuk kerabat dan kolega di seluruh penjuru dunia. 

Masa Kecil

Beliau adalah putra kelima dari pasangan Mbah Yai Amin dan Mbah Kaji Aminah. Silsilah lengkap dari jalur abah adalah Miftahul Fattah bin Muhammad Amin bin Musthofa bin Abdul Karim bin Abdul Qohhar bin Darus bin Qinan bin Ali Mas’ud bin Ahmad Rifa’i bin Bisyri bin Ahmad Dahlan bin Muhammad Ali bin Hamid bin Shodiq bin Raden Qosim (Sunan Drajad) bin Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) bin Syeikh Maulana Ibrahim Assamarqandi bin Maulana Jamaluddin Akbar (Sumber: Buku Forum Komunikasi Bani Musthofa (FOKUS)). Sedangkan dari jalur ibu adalah Miftahul Fattah bin Nyai Hajjah Aminah binti Mahbub Ali bin Nyai Hajjah Muhsinah binti KH. Abdul Djabbar bin Kadiyun bin Wirosari (Kudo Leksono)bin Nyai Siman binti Nyai Sarimah binti Ongkoyudo sampai pada Pangeran Selarong bin Pangeran Banowo bin Pangeran Pajang alias Lembupeteng alias Joko Tingkir dan seterusnya sampai ke Brawijaya Mojopahit (Sumber: Buku Ikatan Keluarga Kiai Abdul Djabbar (IKKAD)).

Berbeda dengan saudara-saudara beliau yang dilahirkan di Kranji, beliau dilahirkan di Desa Tunggul, begitu pula dengan almarhum kakak beliau, yaitu Arfa’I (wafat kecil). Mbah yai Amin sendiri adalah seorang pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia. Mbah Yai Amin yang wafat pada tahun 1949 menjadikan beliau yatim di usia dua tahun. Makam Mbah Yai Amin terletak di Desa Dagan. Apabila bepergian ke arah selatan dan melewati pesarean Mbah Yai Amin, maka beliau menyempatkan diri untuk berziarah, berdoa di atas pusara sang abah.

Tak ada kenangan yang bisa diingat ketika masih bersama sang abah karena usia yang sangat kecil sudah ditinggalkan. Haya dari cerita ibunda tercinta, semasa kecil ketika beliau ditanya orang, “abah di mana?”. Jawab beliau, ”bah bo ban buk” (abah tibo, ketiban gubuk), kenang beliau sambil terkekeh.

Mbah Mif kecil menuntut ilmu di Sekolah Rakyat (SR) Desa Kranji sampai tahun 1959. Setiap sore hari selama bersekolah di SR beliau mengaji pada nenek beliau, yaitu Mbah Aminah, istri dari Mbah Yai Musthofa Abdul Karim. Sedangkan Mbah Musthofa sendiri sering ditemui sedang berdzikir (wirid).

Masa Muda

Setelah lulus dari SR, beliau kemudian berkelana ke Jombang dan tinggal di rumah paman beliau dari pihak ibu, yaitu KH. Badawi Mahbub, seorang anggota DPRD Daerah Tingkat 1 Jawa Timur yang wafat pada 10 Agustus 1991. Satu tahun beliau di rumah Mbah Badawi kemudian pindah di rumah KH. Djabbar Adelan (putra KH. Adlan Ali) selama enam bulan. Setelah dari Mbah Djabbar kemudian pindah ke rumah KH. Ali Ahmad (menantu KH. Adlan Ali) selama enam bulan untuk belajar imrithi. Semuanya berada di kawasan Cukir Jombang. Pada saat tinggal di rumah para kerabat, beliau mengaji al Qur’an di KH. Adlan Ali (Mbah Delan). Mbah delan adalah paman dari ibu beliau. Hari-hari dihabiskan dengan mengaji di Mbah Delan. Setelah mengkhatamkan al Quran sebanyak tujuh kali maka beliau diutus oleh Mbah Delan untuk menghafalkan al Quran. Mbah-mbah mu biyen nek wes khatam ping pitu terus ngafalno Qur’an”, begitu ngendikane Mbah Delan. Dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, menghafal al Quran hanya ditempuh dalam waktu reltif singkat, yaitu kurang lebih tiga bulan.

Pendidikan selanjutnya ditempuh di Pesantren Tebuireng. Beliau menamatkan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah di sana. Selama di tebuireng, beliau adalah santri kesayangan KH. Idris. Beliau menyerap semua kitab yang diajarkan oleh sang kiai. Tak jarang beliau disuruh menggantikan sang kiai untuk mengajar kitab. Dua tahun terakhir, beliau diangkat menjadi keamanan pesantren sehingga membuat beliau kurang fokus pada deresan al Quran. Akhirnya pada tahun 1970 beliau boyong dari pesantren dan sampai saat ini beliau berjuang dan mengabdikan diri di Pondok Pesantren Al Amin Tunggul Paciran Lamongan Jawa Timur Indonesia.

Beliau menikah pada usia 26 tahun dengan seorang putri cantik dari Desa Dukun Kabupaten Gresik, yang bernama Nur Lailiyah (Mbah Nur). Mbah Nur adalah putri dari bapak Ghozali dan ibu Hj. Umi Salamah yang masih sepupu dari Mbah Kaji Aminah, sehingga Mbah Nur dan Mbah Mif ini masih disebut mindoan. Lika-liku pernikahan dilalui oleh kedua pasangan ini dengan penuh ikhlas. Beliau berjuang mengabdikan diri di pesantren peninggalan sang abah. Hingga kini pesantren yang didirikan oleh Mbah Yai Amin banyak didatangi oleh santri dari berbagai penjuru untuk menuntuk ilmu. Beliau memimpin pesantren ini mulai tahun 1970 sampai saat ini.

Dari pernikahan beliau dikarunia 8 anak, 2 anak kembar laki-laki dan 6 anak perempuan, yaitu:

1.         Muhammad Alfatih Suryadilaga (1974 – 2020)

2.         Ahmad Alfikri Suryadinata (1974 – 2010)

3.         Izzuki Muhashonah (1978)

Doker spesialis patologi klinik di RSUD Waluyo Jati Probolinggo.

4.         Aminatus Salamah (1982)

Wafat bayi usia 4 hari karena demam.

5.         Aminatus Salamah (1983)

Guru di Yayasan Al Amin.

6.         Khuliyah Candraning Diyanah (1986)

Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

7.         Millah Kartikaningtyas (1988)

Guru di Yayasan Al Amin.

8.         Ade ‘Amiroh (1995)

Guru di Yayasan Al Amin.

 

Peran pada saat G-30 S PKI

Mbah Mif muda pada pada usia 19 tahun dengan keberaniannya ikut berperang melawan PKI. Saat itu beliau sedang pulang dari pesantren Tebuireng.  Pusat PKI Paciran berada di desa Tunggul. Masyarakat sekitar tidak berani melawan. Pada kenyataannya pun masyarakat Tunggul adalah masyarakat abangan. Tetapi atas kehendak Allah perlawanan pun terjadi dan beliau ikut serta menumpasnya. Pada saat itu beliau terluka oleh pedang di kepala yang mengakibatkan darah bercucuran, luka 12 cm di kepala atas. Atas kuasa Allah beliau terselamatkan dari peristiwa naas tersebut.

 

Kehilangan

Pada tahun 2010, saat itu beliau sedang melaksanakan ibadah umroh bersama istri dan anak bungsunya, tepatnya pada bulan Agustus, si kembar Mas Ah sakit. Setelah 10 hari dirawat di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya, ajal menjemput mas Ah sehingga beliau tidak menangi anak mbarepnya. Dengan sedih beliau berkata, “Ahmad iki, aku ga weroh lahire lan ga weroh wafate” (Ahmad ini, saya tidak tahu lahirnya dan wafatnya). Ketika Mas Ah lahir beliau sedang pergi membeli keperluan ibu dan bayi setelah lahirnya Mas Muh. Tidak tahu kalau istrinya melahirkan anak kembar. Setelah tiba di tanah air, beliau langsung menuju pusara ananda tercinta dan berdoa untuk ananda dan ibunda yang bersebelahan tempat peristirahatannya.

Pada Februari 2021, beliau kembali kehilangan putra kembar beliau, mas Muh kembali ke pangkuan Ilahi setelah 7 hari dirawat di Rumah Sakit Hermina Yogyakarta. Saat itu, Selasa pagi tanggal 2 Februari 2021, karena dunia sedang terluka oleh pandemi covid-19, beliau tidak diperkenankan menjenguk putra kebanggaan yang sedang menahan sakit. Hari itu hari ke-7 perawatan, melalui panggilan video, beliau memberi semangat ke Mas Muh, “ojo ngresulo, sing tawakkal” (Jangan mengeluh, yang tawakkal). Pada kondisi seperti itu pun beliau masih berpesan kepada putranya seperti itu. Hingga pada malam hari pukul 23.37, Mas Muh wafat dan kemudian dikebumikan di Pemakaman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

 

Beberapa pesan yang dapat diambil dari keseharian beliau:

1. Tidak pernah berhenti berdzikir maupun membaca Al Quran baik di waktu senang maupun susah dan di manapun berada (di rumah maupun di perjalanan)

2. Selalu menjaga kesucian dengan berwudhu

3. Tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah bahkan dalam kondisi sakit sekalipun.

4. Tidak pernah meninggalkan sholat dhuha dan sholat malam bagaimanapun keadaan beliau meskipun dalam perjalanan.

5. Disiplin dalam segala hal. Selalu mengajar ngaji kitab meskipun dalam keadaan letih usai perjalanan jauh. 

6. Memuliakan tamu. Ketika lelah pun beliau tetap menerima tamu. Tamu tidak pernah menunggu lama untuk bisa bertemu dengan beliau.

7. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Jangan sampai ada dendam di antara saudara ataupun orang lain apalagi sampai terbawa mati.

8. Menjaga tali silaturrahim dengan siapapun.

9. Jangan sombong. Pesan ini baru disampaikan oleh beliau pada tanggal 31 Oktober 2021 ketika saya bertanya apa pesan kepada para pembaca yang budiman.

 

Mohon maaf tulisan amburdul dan belum lengkap.







Komentar